February 07, 2004

Kompor

Kompor itu baru dibeli 3 minggu yang lalu. Ya..cukup baru memang, tapi entah kenapa warna apinya sudah memerah, sehingga cerek yang biasa dipakai untuk membuat kopi menjadi hitam. Sayangnya lagi, cereknya gak bisa kinclong seperti dulu waktu beli.

Kompor itu kompor minyak tanah, seperti kompor milik masyarakat kebanyakan. Walaupun kompor gas baru datang, tapi kami males untuk beli tabung gasnya, lagi pula sayang kan kalau kompor baru itu tidak dipakai.

Tidak ada hal yang unik pada kompor itu. Mungkin, keunikannya itu tadi, baru 3 minggu saja warna apinya sudah memerah. Sepertinya sumbu api yang tidak bagus, atau memang sudah habis sumbunya. Bukan! bukan karena minyak tanah yang kurang.

Sore yang seperti biasanya, dengan ditemani perasaan yang biasa-biasa saja, saya coba untuk membongkar kompor ini. Dulu saya sering melihat Emak betulin kompor, ya... hanya lihat-lihat saja. Jadi! saya pikir mudah saja, bahkan sangat mudah untuk membongkar dan mengangkat sumbu itu. Alat yang diperlukan hanya tali rapia dan gunting....Hmmmmm! cetek lah!.

2 menit, 5 menit sudah lewat....Heh! kok susah juga! ampun deh!, hanya tinggal masukin sumbu ke tali rapia, masukin ke lubangnya, terus tarik ke atas....Tapi kok! susah ya!...keringat sudah bercucuran dari dahi dan tanganku (kalau yang ini didramatisir he3x)

Sembari bekerja, lamunan menerawang jauh pada tahun 90-an dimana saya masih SMP dan SMA. Biasanya yang betulin kompor di rumah itu kalau tidak Emak, ya...Tetehku. Tapi jujur saja kalau saya tidak memikirkannya, hanya melihat sambil lalu...dan biasannya Emak memang tidak pernah menyuruh untuk itu. Waduh! Maaf! kesibukanku banyak. Main, kumpul teman-teman, atau cari alasan kegiatan sekolah agar bisa pergi dari rumah... atau kalau Emak nyuruh sesuatu, jawaban yang sering muncul seperti biasanya “males mak!”.

Sumbu kompor belum juga terpasang, tangan sudah belepotan minyak tanah. Susah sekali memang!, kembali pikiran masih melamun...

Kok tega ya...! membiarkan Emak membetulkan kompor sendirian...tapi ajaibnya dengan cepat beliau bisa membetulkannya....jadi malu jadinya! Dulu saya sering membantah perintah Emak, bahkan sering mencibir....Pada saat kuliah apa lagi... dengan pendidikan yang tinggi...banyak sudah ilmu yang didapat. Sayangnya, kalau bicara dengan Emak biasanya saya sering menyerang pendapat-pendapatnya, seringnya saya ingin menang sendiri, itu karena merasa berpendidikan lebih tinggi. Tapi, seperti biasanya saya tidak peduli dengan perasaan Emak. Saya pikir wajar saja.

Perasaan bersalah dan menyesal menyelusup kedalam hati memenuhi tiap sel tubuh ini. Dan, saya biarkan itu terjadi. Tempat tinggal yang jauh menimbulkan rasa rindu yang teramat dalam pada Emak. Andai pulang nanti, yang ingin saya minta adalah keikhlasan dan ampunan maaf yang tak hingga darinya.

Saya masih ingat ketika bersilaturahmi ke rumah tetangga. Waktu itu saya sempat ngobrol panjang lebar dengan seorang ibu yang sudah berumur, dan beliau berkata “Om Amar, ketika putera saya masih anak-anak, saya masih ingat bagaimana dan seperti apa mengasuh dan mendidik mereka. Tapi kini, ketika anak-anak sudah SMU, karena kesibukannya dan pengaruh lingkungan, mereka sering membantah, sok pintar dan ingin menang sendiri. Sakit rasanya hati ini !”

Sumbu kompor akhirnya terpasang juga...Alhamdulillah!. Tinggal meratakan sumbunya, terus memasang baut kembali...

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia

No comments:

Post a Comment