December 24, 2005

Turut Bersimpati Untukmu Guru!


Dalam perjalanan ini, ada 2 hal yang sering membuat saya terpesona. Yang pertama saya terpesona pada para orang tua yang sudah sangat sepuh yang masih bekerja keras untuk mengisi perut dirinya dan tanggungannya, Tapi ..... mereka tidak marah. Hal yang kedua, adalah kepada para guru, pahlawan tanpa tanda jasa yang menjadi pendidik utama ketika sebagian orang tua sudah masa bodoh dengan pendidikan anaknya. Dan....mereka pun tidak pernah marah.

Marah” sekarang ini sudah menjadi kosakata yang sering kita dengar dan nampaknya di tahun 2006 akan semakin menggila seiring dengan prediksi para pakar yang menyebutkan kondisi Indonesia tidak jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Hmmm!! Semoga saja tidak menyamai kata sejenis yang amat menakutkan, yakni kata ”amuk” dan ”konflik”. Menurut rekan saya yang ahli pertanian, tetapi sering berfilsafat mengatakan bahwa marah adalah luapan nafsu/emosi yang tidak terkontrol akibat dari ketidakmampuan dalam mengelola hatinya. Lalu, Ia juga menyatakan bahwa marah sebetulnya dapat dikontrol dengan manajemen qalbu. Kebetulan memang rekan saya yang ahli pertanian ini pernah hadir satu kali dalam pengajian Aa Gym.

Coba bayangkan andai guru-guru kita di satu kelas adalah orang pemarah. Pasti amat menakutkan! Dapat dipastikan siswa-siswinya akan ketakutan, menangis, mungkin ngompol juga, dan pastinya tidak bisa belajar. Dan, yang lebih menakutkan adalah mentalnya lemah, tidak memiliki kepercayaan diri, dan lain-lain hal yang negatif tentunya. Hiii! Nah! Sekarang bayangkan andai guru-guru itu guru di semua sekolah di Indonesia yang merasa sakit hati akibat ditegur saudara kita Bapak Jusuf Kalla ketika peringatan Hari Guru di Solo. Saya dapat memastikan kondisi Indonesia nantinya akan makin terpuruk. Kenapa? Karena SDM-nya lemah sehingga tidak ada yang mampu mengelola daerah. Padahal, menurut Pak Surya yang ahli Fisika itu mengatakan bahwa sebenarnya orang Indonesia itu memiliki bibit unggul dan pintar-pintar.

”Sudahlah! Perihatin pokoknya!” begitu kata yang terucap dari mulut rekan saya itu ketika Ia membaca berita kejadian peringatan Hari Guru itu. Kemudian Ia berbisik bahwa sebetulnya kandang ayam lebih layak bagi ayam karena sesuai dengan kebutuhannya, wah! Apalagi kandang unggas lain lebih keren, itik contohnya, kalau ingin berinvestasi itik, harus menyediakan tempat bermain bagi mereka. Huahaha! Kalau begitu, memang ayam dan itik lebih layak dong kandangnya dari tempat belajar anak didik kita.

Saya meyakini bahwa puisinya Prof. Surachmad itu buah dari keluh kesah ribuan guru Indonesia yang sudah sedemikian lama (60 tahun) menantikan hidup sejahtera. Dan juga saya yakin sekali, dari dulu hingga kini banyak tetesan air mata yang tertumpah demi berjuang untuk makan. Yaaa! Hanya untuk makan. Karena untuk kebutuhan sekunder dan tersier lain sebagian besar dari mereka tidak mampu. Hikkksssss! Bahkan! Saya mendengar dari rekan saya itu ada sebagian dari para guru kita yang megap-megap untuk membiayai sekolah anaknya. Hikkksss!!!!

Kenapa para guru tidak marah? Jujur saja, kata rekan saya yang ahli pemasaran mengatakan bahwa menurut analisanya, mereka sudah lelah untuk marah. Daripada energinya digunakan untuk marah, mending dipake untuk mencari penghasilan tambahan, seperti jadi tukang ojek, jualan Bakso, tukang bangunan, dan sebagainya. Nah! Dari usaha tambahan inilah penghasilannya dipake untuk makan mereka. Akan tetapi, lanjut rekan saya, memang efek negatifnya mereka tidak dapat mempersiapkan bahan untuk mengajar muridnya esok hari.

Ketika era presiden Gus Dur yang memang mirip banget pelawak, memberikan janji kenaikan gaji guru sebesar 300%. Ah! Melambung tinggilah khayalan para guru itu. Tapi ketika janji itu tidak dipenuhi. Hikksss!!! Lagi-lagi hati mereka terluka. Kemudian, sekarang ini saudara kita di pemerintahan memberikan janji untuk kenaikan gaji 15%, akankan hati mereka terluka lagi ketika janji tersebut bohong belaka? Tapi. Semoga saja janji tersebut dipenuhi. Amiin!!

Kembali ke soal marah tadi. Ketika saya sering memberikan lelucon-lelucon segar kepada rekan-rekan, biasanya mereka tertawa dengan riangnya. Apabila ada yang tidak tertawa, biasanya saya bilang ”Ah! dasar DHR lu!” (daya humor rendah). Menurut rekan saya yang ahli pemasaran, DHR (daya humor rendah) adalah kebalikan dari DHT (daya humor tinggi), yakni adalah suatu indikator yang dapat melihat tingkat kualitas kedewasaan dan hati seseorang. Ia merumuskan bahwa DHT = Kedewasaan + Suasana Hati.

Andai boleh usil menelisik penyikapan saudara kita mengenai puisinya Prof. Surachmad, sepertinya perlu ada suatu indikator lain, yakni ASR (apresiasi seni rendah) dan AST (apresiasi seni tinggi). Namun sayangnya, saya belum menanyakan kepada rekan saya yang ahli pemasaran ataupun ahli pertanian mengenai hal ini.

Ada juga satu cerita ketika pulang kampung kemarin. Kebetulan saya satu pesawat dengan rekan saya yang dokter anak. Ketika sudah mulai masuk pesawat waktu itu, kami duduk dekat pintu darurat. Satu kursi yang paling pinggir masih kosong. Lalu datanglah orang yang menduduki kursi itu dengan membawa tas besar yang Ia taruh di lantai menghalangi pintu darurat. Waktu berjalan dengan lambat ketika para kru pesawat dan orang itu saling ngotot. Para kru pesawat melarang karena alasan safety, sedangkan orang tersebut beralasan tidak ada ruang bagasi yang kosong. Wah! Lama sekali saling ngotot berlangsung. Kemudian, rekan yang dokter anak tapi kurang paham mengenai pertanian dan pemasaran berbisik bahwa orang tersebut EQ-nya rendah.

December 05, 2005

Harmonisasi Lingkungan dengan Community Development


Seorang eksekutif muda tengah resah akhir-akhir ini. Dari hari-kehari kian gundah gulana yang dirasakan. Padahal selama ini Ia sudah mendapatkan semuanya. Rumah dan mobil yang mewah, seorang isteri cantik dan dua anak yang lucu serta jabatan yang tinggi di perusahaannya. Lalu dalam keadaan gundah Ia menanyakan untuk apa Ia hidup?. Kemudian Ia mengunjungi gurunya yang tinggal nun jauh di kampung yang terpencil dengan harapan terjawab segala kegundahan hatinya.

Setelah bertemu, kemudian Ia menyatakan maksud pada gurunya. Sang Guru Bijak itu adalah seorang tua. Tapi masih tampak jelas kewibawaan terpancar jelas dari sorot matanya. Dengan tatapan yang jernih Ia memulai menjawab. “Anakku…! Coba perhatikan seekor ayam. Setiap hari Ia membangunkan manusia dengan suaranya, Ia juga memberikan telur yang bergizi tinggi untuk makanan manusia. Kotoran yang dia keluarkan bahkan dijadikan pupuk yang baik untuk tanaman. Kemudian, pada akhir hidupnya Ia disembelih oleh manusia untuk dijadikan makanan yang lezat dan bergizi”. Lalu sang guru bijak bertanya ”Nah sekarang, coba pahami apa yang telah seekor ayam berikan?”.

Hmmm! Saya mengerti, sang eksekutif bergumam. Manfaatlah yang telah Ia berikan!”. Kemudian dengan penuh senyuman, sang eksekutif muda tersebut pulang dengan hati yang senang. Ia berjanji untuk memberikan manfaat lebih untuk hidupnya dan lingkungannya.


Cerita tersebut merefleksikan banyak hal yang pada intinya kembali mengingatkan bahwa manusia pada dasarnya rindu akan saling bantu-membantu sebagai cerminan bahwa Ia adalah makhluk sosial. Dengan memberi manfaat, manusia sudah sampai pada taraf tertinggi dalam menikmati hidup dan bersyukur atas apa yang dikaruniakan oleh yang telah menciptakan kita.


Berbaur harmonis dengan Lingkungan perusahaan

Identik dengan hal tersebut diatas, sesungguhnya sebuah perusahaanpun pada hakikatnya memiliki kecenderungan yang sama. Ia mesti berbaur, menyatu dan saling berbagi dengan masyarakat sekitar. Keterpaduan yang serasi, dinamis dan harmonis akan sangat meningkatkan eksistensi perusahaan dimata buyer, pemerintah dan khususnya masyarakat. Ada ruang yang kosong dan rasa hampa apabila tidak tercapai keharmonisan dengan lingkungan perusahaan. Bahkan, bisa jadi keberlanjutan perusahaan terganggu akibat ketidakharmonisan tersebut.

Biasanya ketidakharmonisan antara perusahaan dengan lingkungan terjadi disebabkan minimnya informasi yang didapat masyarakat sekitar terhadap aktivitas perusahaan. Minimnya informasi tersebut akan berujung pada kecurigaan dan kecemburuan sosial dalam masyarakat. Dan inilah yang biasanya yang akan menjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar. Konflik yang kian tidak terselesaikan dan tidak menjawab akar permasalahan adalah alamat terganggunya aktifitas perusahaan. Sehingga, kata kuncinya adalah komunikasi yang kontinyu dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat sekitar dan yang terpenting adalah kejujuran dan keterbukaan antara kedua belah pihak. Informasi yang disembunyikan atau dilakukan secara hit and run hendaknya dihindari. Karena, ini berkaitan dengan masa depan keharmonisan perusahaan dengan masyarakat sekitar.

Memberi manfaat pada lingkungan perusahaan, mungkinkah? Teramat mungkin. Bahkan sudah menjadi keharusan jika ingin keberlanjutan yang didapat. Seperti halnya perkataan seorang bijak yang mengatakan jika engkau tanam kebaikan, maka engkau akan menuainya pula. Perusahaan yang memberikan manfaat pada lingkungannya akan mendapatkan timbal balik dari semua itu. Dan timbal balik tersebut dapat saja diwakili oleh kerja keras dari ribuan karyawannya, meningkatnya pelayanan yang prima dari para subkontraktornya, produksi lancar, mendapat penghormatan atas prestasi dari pemerintah dan buyer serta yang tak kalah menggiurkan adalah nama baik perusahaan sebagai cerminan pengakuan akan manfaat pada lingkungannya.


Community Development dan Lingkungan Perusahaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan suatu perusahaan di suatu daerah akan dapat mendorong bermunculannya kegiatan-kegiatan sosial ekonomi sekitarnya, seperti adanya perusahaan jasa penunjang kehidupan perusahaan besar. Akan tetapi kemunculan perusahaan ini pada umumnya berasal dari luar komunity dengan model usaha yang berbeda dengan komuniti lokal. Dan, sekali lagi kondisi ini akan rawan kecemburuan sosial. Oleh karena itu, untuk meningkatkan peran serta anggota masyarakat dalam kegiatan perusahaan atau paling tidak untuk menjaga kemunculan ketidaksetaraan sosial ekonomi angota komuniti lokal dengan perusahaan atau dengan pendatang lainnya diperlukan suatu wadah program yang berbasis kepada masyarakat yang sering disebut community development (CD) untuk menciptakan kemandirian menata sosial ekonomi mereka sendiri.

Sebagai suatu program, Community Development (CD) bukan hanya bentuk tanggung jawab sosial korporat. Akan tetapi lebih dari itu program ini dapat lebih memberikan kontribusi yang nyata (dengan kemampuan yang dimiliki) pada pembangunan berkelanjutan. CD merupakan sarana komunikasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitar yang strategis dan efektif. Program-program CD yang disusun secara partisipatif dengan melibatkan pemerintah dan masyarakat sekitar merupakan bentuk komunikasi yang strategis dilakukan oleh perusahaan.

Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Begitupun perusahaan dengan program CD-nya. Menurut Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2004) bahwa melalui CD, perusahaan akan mendapatkan izin lokal dan sebagai security perusahaan, perusahaan juga dapat berkontribusi dalam mengatur dan menciptakan strategi pembangunan berkelanjutan kedepan, serta sebagai sarana untuk menolong pemenuhan sasaran perusahaan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah mempersiapkan kehidupan yang lebih baik pasca tambang (life after mining).


Harmonisasi untuk Manfaat Bersama

Andai dalam suatu orkesta tidak ada harmonisasi. Maka tujuan kesyahduan suatu syair lagu tidak akan tercapai. Sehingga, tidaklah harmonis apabila perusahaan saja yang menonjol dalam program pembangunan yang berkelanjutan. Kepedulian untuk menyusun program secara bersama dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab diperlukan agar tercapai hasil yang terbaik untuk manfaat bersama.