August 25, 2004

Ayah ...(2) Doaku menyertaimu....

Akhirnya tibalah keputusan itu. Keputusan yang seharusnya muncul ketika awal-awal Ayah dioperasi. Yup! Bagaimanapun juga Saya harus menjenguk Ayah. Harus!, Harus! bahkan...WAJIB!!!!

Sudah lebih dari sebulan saya hitung semenjak pertama kali Ayah dirawat di RS Hasan Sadikin-Bandung. Selama itu.....! Hmmm...Ck! ck! ck! Lantas, dimana saja sang anak yang seharusnya mendampingi dan menjaga orang tuanya? Bahkan, menjenguk sekalipun belum.... Ya, selama waktu itu informasi jalannya operasi Ayah diperoleh dari telepon dan SMS. Itupun masih menganggap jadi anak yang berbakti. Huh! Sungguh anak yang tak tau berbalas budi!

Tapi...selepas magrib, Bibi menyuruh untuk menelepon ke RS. Akhirnya ......sebuah suara yang tidak asing lagi ditelinga terdengar dari jauh. Suara Ibu, dengan tangisan tertahan mengabarkan bagaimana kondisi Ayah pasca operasi. Bagaimana Ayah sering pusing dan belum bisa tidur dengan nyenyak. Beliau juga mengabarkan tentang kemungkinan operasi kedua jika kondisinya belum baik.... Lunglai sudah tubuh ini mendengar semua itu. Lalu, mulailah pikiran normal muncul kembali...Yah! Insya Allah Sabtu ini Saya pulang. Mudah-mudahan dengan perjumpaan nanti akan meringankan beban sakitmu dan mempercepat kesembuhanmu.
Saya sadar, sungguh salah apabila menjadikan pekerjaan yang menumpuk setiap minggu dan karena tempat yang jauh menjadi alasan sulitnya menjenguk. Sungguh…pekerjaan, target-target, laporan, dsb. telah membuatku terperdaya dan terpenjara. Kebahagiaan hakiki dimana kebebasan sebagai individu normal telah direnggut. Sungguh….Hidup adalah rangkaian saat-saat indah, dan bukan untuk bertahan.

August 04, 2004


Foto Keluarga
Posted by Hello

Ayah….

Dua minggu ini ingatan terus terkenang pada Ayah. Sosok yang sederhana, tenang, menerima segala sesuatu apa adanya, kadang terlalu hati-hati dan tidak suka marah. Seingat saya sampai dengan umur seperempat abad ini belum pernah perlakuan fisik mendarat di tubuhku (lagi pula memang gak perlu ya!). Tapi itulah Ayah, Ayah kami, citra seorang pendidik yang akan terpatri di benak kami anak-anaknya sampai dengan akhir hayat kelak.

Subuh di kampung kami biasanya diawali dengan pembacaan Tahriman melalui speker di Langgar yang cukup tua. Biasanya, pembacaan yang cukup keras itu membangunkan penduduk kampung. Hanya kemalasanlah yang sering membuat kami, anak-anak waktu itu malah lebih baik memasukkan kepala ke bawah bantal untuk meneruskan tidur.

Kejadian subuh di rumah pun berlangsung seperti biasanya. Suara khas Ayah mengawali bangun pagi kami dengan logat sundanya yang kental “Di...Di…gugah……,”Di….Di….gugah….Di…”.(Di…Di…bangun…(). Panggilan itu diulang-ulang sampai kami bangun. Wah!, kalau dihitung pasti males ngitungnya. Saking males ngitung, kadang panggilan yang akrab di setiap bangun pagi kami itu berhasil dengan sukses membuat bangun. Tentunya dengan jengkel dan ingin marah :P. Tapi ternyata cara itulah yang setiap pagi dapat membangunkan kami.
Hari ini, kangen akan Ayah kembali menyelimuti. Nanti kalau waktunya pulang. Saya akan bangun kesiangan untuk dibangunkan seperti waktu kecil dulu. “Di…Di….gugah…!” Di…Di….gugah…!”.