August 04, 2004

Ayah….

Dua minggu ini ingatan terus terkenang pada Ayah. Sosok yang sederhana, tenang, menerima segala sesuatu apa adanya, kadang terlalu hati-hati dan tidak suka marah. Seingat saya sampai dengan umur seperempat abad ini belum pernah perlakuan fisik mendarat di tubuhku (lagi pula memang gak perlu ya!). Tapi itulah Ayah, Ayah kami, citra seorang pendidik yang akan terpatri di benak kami anak-anaknya sampai dengan akhir hayat kelak.

Subuh di kampung kami biasanya diawali dengan pembacaan Tahriman melalui speker di Langgar yang cukup tua. Biasanya, pembacaan yang cukup keras itu membangunkan penduduk kampung. Hanya kemalasanlah yang sering membuat kami, anak-anak waktu itu malah lebih baik memasukkan kepala ke bawah bantal untuk meneruskan tidur.

Kejadian subuh di rumah pun berlangsung seperti biasanya. Suara khas Ayah mengawali bangun pagi kami dengan logat sundanya yang kental “Di...Di…gugah……,”Di….Di….gugah….Di…”.(Di…Di…bangun…(). Panggilan itu diulang-ulang sampai kami bangun. Wah!, kalau dihitung pasti males ngitungnya. Saking males ngitung, kadang panggilan yang akrab di setiap bangun pagi kami itu berhasil dengan sukses membuat bangun. Tentunya dengan jengkel dan ingin marah :P. Tapi ternyata cara itulah yang setiap pagi dapat membangunkan kami.
Hari ini, kangen akan Ayah kembali menyelimuti. Nanti kalau waktunya pulang. Saya akan bangun kesiangan untuk dibangunkan seperti waktu kecil dulu. “Di…Di….gugah…!” Di…Di….gugah…!”.

No comments:

Post a Comment