January 21, 2004

Semoga bermanfaat

Dear rekan-rekan seperjuangan,
Saya tidak tahu sumber cerita ini. Tapi Insya Allah
bermanfaat.


Barangsiapa yg mengharapkan mati syahid dgn sepenuh hati, maka ALLAH akan
memberikan mati syahid kepadanya meskipun ia mati ditempat tidur (hadis).

Dunia hanya satu terminal dari seluruh fase kehidupan. Hanya Allah yang
tahu tentang usia seorang manusia. Saya, Khadijah sebut saja demikian,menikah
dengan Muhammad, 3 Oktober 1993. Muhammad adalah kakak kelas saya di IPB.

Selama menikah, suami sering mengingatkan saya tentang kematian, tentang
syurga, tentang syahid, dan sebagainya. Setiap kami bicara tentang sesuatu,
ujung2nya bicara tentang kematian dan indahnya syurga itu bagaimana. Kalau
kita bicara soal nikmatnya materi, suami mengaitkannya dengan kenikmatan
syurga yang lebih indah. Bahkan, berulang-ulang dia mengatakan, nanti kita
ketemu lagi di syurga. Itu mempunyai makna yg dalam bagi saya.

Hari itu, 16 Januari 1996, kami ke rumah orang tua di Jakarta. Seolah suami mengembalikan saya kepada orang tua. Malam itu juga, suami saya mengatakan
harus kembali ke Bogor, karena harus mengisi diklat besok paginya. Menurutnya, kalau berangkat pagi dari Jakarta khawatir terlambat.

Mendekati jam 12 malam, saya bangun dari tidur, perut saya sakit, keringat
dingin mengucur, rasanya ingin muntah. Saya bilang pada ibu saya, untuk
diobati. Saya kira maag saya kambuh. Saya sempat berpikir suami saya di
sana sudah istirahat, sudah senang, sudah sampai karena berangkat sejak
maghrib.

Saya juga berharap kalau ada suami saya mungkin saya dipijitin atau
bagimana. Tapi rupanya pada saat itulah terjadi peristiwa tragis menimpa
suami saya. Jam tiga malam, saya terbangun. Kemudian saya shalat. Entah kenapa,
meskipun badan kurang sehat, saya ingin ngaji. Lama sekali saya menghabiskan lembar
demi lembar mushaf kecil saya. Waktu shubuh rasanya lama sekali. Badan
saya sangat lelah dan akhirnya tertidur hingga subuh.

Pagi harinya, saya mendapat berita dari seorang akhwat di Jakarta, bahwa
suami saya dalam kondisi kritis. Karena angkutan yang ditumpanginya hancur
ditabrak truk tronton di jalan raya Parung. Sebenarnya waktu itu suami
saya sudah meninggal. Mungkin sengaja beritanya dibuat begitu biar saya tidak
kaget. Namun tak lama kemudian, ada seorang teman di Jakarta yang
memberitahukan bahwa beliau sudah meninggal. Inna lillahi wainna ilaihi
rajiun.

Entah kenapa, mendengar berita itu hati saya tetap tegar. Saya sendiri
tidak menyangka bisa setegar itu. Saya berusaha membangun keyakinan bahwa suami
saya mati syahid. Saya bisa menasihati keluarga dan langsung ke Bogor. Di
sana, suami saya sudah dikafani. Sambil menangis saya menasihati ibu,
bahwa dia bukan milik kita. Kita semua bukan milik kita sendiri tapi milik
ALLAH.

Alhamdulillah ALLAH memberi kekuatan. Kepada orang2 yang bertakziah waktu
itu, saya mengatakan : "Doakan dia supaya syahid.. doakan dia supaya
syahid". Sekali lagi ketabahan saya waktu itu semata datang
dari ALLAH, kalau tidak, mungkin saya sudah pingsan.

Seperti tuntunan Islam, segala hutang orang yang meninggal harus
ditunaikan. Meski tidak ada catatannya, tapi tanpa disadari, saya ingat sekali hutang2
suami. Saya memang sering bercanda sama suami, "Mas kalau
ada hutang, catat. Nanti kalau Mas meninggal duluan saya tahu saya harus
bayar berapa." Canda itu memang sering muncul ketika kami bicara masalah
kematian. Sampai saya pernah bilang pada suami saya, "kalau mas meninggal
duluan, saya yang mandiin. Kalau mas meninggal duluan, saya kembali lagi
ke ummi, jadi anaknya lagi." Semua itu akhirnya menjadi kenyataan.

Beberapa hari setelah musibah itu, saya harus kembali ke rumah kontrakan
di Bogor untuk mengurus surat2. Saat saya buka pintunya, tercium bau harum
sekali. Hampir seluruh ruangan rumah itu wangi. Saya sempat periksa
barangkali sumber wangi itu ada pada buah-buahan, atau yang lainnya. Tapi
tidak ada. Ruangan yg tercium paling wangi, tempat tidur suami dan tempat
yg biasa ia gunakan bekerja.

Beberapa waktu kemudian, dalam tidur, saya bermimpi bersalaman dengan dia.
Saya cium tangannya. Saat itu dia mendoakan saya: "Zawadakillahu taqwa
waghafara dzanbaki, wa yassara laki haitsu ma kunti" (Semoga Allah menambah ketakwaan padamu, mengampuni dosamu, dan mempermudah segala
urusanmu di mana saja). Sambil menangis, saya balas doa itu dengan doa
serupa.

Semasa suami masih hidup, doa itu memang biasa kami ucapkan ketika kami
akan berpisah. Saya biasa mencium tangan suami bila ia ingin keluar rumah.
Ketika kami saling mengingatkan, kami juga saling mendoakan.

Banyak doa-doa yang diajarkan suami saya. Ketika saya sakit, suami saya
menulis doa di white board. Sampai sekarang saya selalu baca doa itu. Anak
saya juga hafal. Saya banyak belajar darinya. Dia guru saya yang paling
baik. Dia juga bisa menjelaskan bagaimana indahnya syurga. Bagaimana
indahnya syahid.

Waktu saya wisuda, 13 Januari 1996 saya sempat bertanya pada suami, "Mas
nanti saya kerja di mana?" Suami diam sejenak. Akhirnya suami saya
mengatakan supaya wanita itu memelihara jati diri. Saya bertanya,
"Maksudnya apa?", "Beribadah, bekerja membantu suaminya, dan
bermasyarakat".
Saya berpikir bahwa saya harus mengurus rumah tangga dengan baik. Tidak
usah memikirkan pekerjaan. Sekarang, setiap bulan saya hidup dari pensiun
pegawai negeri suami. Meskipun sedikit, tapi saya merasa cukup. Dan rejeki dari
ALLAH tetap saja mengalir. ALLAH memang memberi rejeki pd siapa saja, dan
tidak tergantung kepada siapa saja. Katakanlah meski suami saya tidak ada,
tapi rejeki ALLAH itu tidak akan pernah habis.

Insya ALLAH saya optimis dengan anak2 saya. Saya ingat sabda Nabi :
"Aku dan pengasuh anak yatim seperti ini", sambil mendekatkan kedua buah
jari tangannya. Saya bukan pengasuh anak yatim, tapi ibunya anak yatim.
Meski masih kecil-kecil, saya sudah merasakan kedewasaan mereka. Kondisi
yang mereka alami, membuat mereka lebih cepat mengerti tentang kematian,
neraka, syurga bahkan tentang syahid. Rezeki yg saya terima, tak mustahil
lantaran keberkahan mereka.


Semoga bermanfaat,

No comments:

Post a Comment