January 18, 2004

AUTUM IN SIDNEY

Allahu Akbar
Di atas Langit Australia, 8 Oktober 2002
Aku terperangah menyaksikan akhir film Autumn in New York. Tragis dan
menyedihkan. Richard Gere yang melakonkan Will Keane, juragan restoran
setengah baya di New York itu, harus menangis karena kekasihnya Winona
Ryder yang melakonkan Charlotte Fielding yang masih belia meninggal karena
penyakit kronis yang dideritanya.
Aku teringat Cindy, istri Australia-ku yang kunikahi empat tahun silam.
Empat tahun menikah, tak sekalipun ia mau ke Indonesia. Pun sekarang, saat
aku harus ke Bandung untuk menikahkan Sarah, adik bungsuku.
Cindy adalah tipikal perempuan Aussie. Mandiri, humanis, fair, assertif,
namun begitu cuek dengan keluarga. Jangankan urusan pernikahan, ketika ayah
meninggal empat bulan silam-pun Cindy enggan ke Jakarta. "Take it easy,
Tommy, semua orang pasti mati," katanya santai.
Cindy tumbuh dalam keluarga broken home. Ayah ibunya bercerai ketika ia
berusia tiga tahun. Cindy tumbuh matang dan mandiri. Ia bekerja dan belajar
16 jam sehari. Tanpa keluhan. Pagi hari bersekolah, sore dan malam hari
menjadi pelayan restoran. Ia menamatkan high school-nya dan melanjutkan ke
School of Law, di Sydney hingga mencapai gelar master bidang hukum
internasional dengan predikat summa cum laude. Sesudahnya, dunia begitu
ramah bagi Cindy. Hampir semua law firm besar di kota ini melamarnya. Cindy
memilih salah satu yang terbesar. Semuanya berjalan begitu lugas, sampai ia
bertemu aku yang dikirim untuk studi S-3 dan magang di kantor mitra asing
kami di Sydney, Krueger and Associates.
Studi di University of New South Wales sambil magang bukanlah pekerjaan
mudah. Aku hampir tak memiliki waktu untuk kehidupan sosialku. Aku nyaris
tak punya waktu untuk manusia. Kecuali tiga jam saja setiap pekan, ketika
shalat Jum'at di Masjid Indonesia Wabash Street, dan pengajian Ahad.
Pada saat-saat sibuk itu, ternyata ada sepasang mata yang selalu
memperhatikanku. Aku tak sadar sampai pemilik mata biru ini menegurku
dengan bahasa Inggris aksen Australia yang khas. "Mengapa anda selalu
menggelar kain merah dan sujud ke arah barat laut setiap pukul dua siang,
lima sore, delapan sore, dan sembilan malam? Apakah anda pengikut suatu
aliran kepercayaan di Asia Selatan?" Tanya pemilik mata biru tersebut
setengah menyelidik.
"Oh No. Saya seorang muslim. Seorang muslim wajib melaksanakan ibadah
shalat lima kali setiap hari," jawabku sedikit heran. Tak biasa wanita
Aussie membuka percakapan dengan pria asing.
Kemudian dialog pun mengalir lancar. Si mata biru itu ternyata Cindy
Stuart Masterson, junior lawyer di Krueger sekaligus kandidat Doktor di
UNSW.
Perjumpaan yang semakin sering membuat kami saling tertarik, sampai
suatu hari Cindy menanyaiku serius, "Tommy, will you marry me?" Aku kontan
gelagapan. Akhirnya, aku hanya berkata, " Ah, ya. Insya Allah!"
Kami menikah pada 21 Februari 1997. Sepekan setelah Iedul Fitri 1417 H.
Dua hari sebelumnya Cindy mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Wabash
Street. Imam masjid memberinya nama Aisyah Muthmainah.
Setahun pertama pernikahan, kami adalah pasangan yang amat harmonis.
Petaka mulai timbul setelah anak pertama kami lahir. Aku ngotot memberinya
nama Islam, Faiz atau Raihan. Cindy protes. "Aku akan memberinya nama Ian."
Aku malas berdebat. Setelah kejadian itu Cindy menjadi sangat berkuasa.
Cindy-lah yang menentukan Ian sekolah dimana. Makan apa. Boleh ke masjid
atau tidak.
Ketika anak kedua kami lahir, aku ingin memberinya nama Nadia atau
Yasmin, yang kurasa agak akrab dengan telinga Australia. "No, Tommy.
Namanya Nicole. Ia akan seperti Nicole Kidman. Mudah-mudahan ia akan mulus
menapak Hollywood seperti Nicole Kidman," lanjut Cindy santai.
Cindy semakin sulit diatur. Janjinya untuk belajar Islam, membaca Al
Qur'an, dan shalat tak pernah terwujud. Ia pun membatasi Ian dan Nicole
untuk berinteraksi dengan komunitas muslim Indonesia. Rencanaku untuk
membawanya pindah ke kawasan muslim Lakemba juga ditolaknya mentah-mentah.
Kesabaranku habis saat Cindy enggan ta'ziah ke Bandung saat ayah
meninggal empat bulan yang lalu. Pekerjaannya terlalu berharga baginya.
Mertuanya tak lebih berharga dari appointment dan contract yang harus
dibuatnya. Tragisnya, Cindy melarang aku membawa Ian dan Nicole dengan
alasan takut terkena virus tropis Indonesia. Dua minggu kemudian aku
meninggalkan rumah tanpa pamit. Sudah hampir tiga bulan aku 'menggelandang'
dari rumah ke rumah teman-teman Indonesiaku. Malam hari aku tidur di
masjid, siang belajar di UNSW. Aku tak pernah lagi ke Krueger and
Associates. Aku belum sanggup bertemu Cindy.
Permintaan Sarah via e-mail sepekan silam menghentikan petualanganku.
Aku senang pulang ke Indonesia. Satu saja yang membuatku resah. Permintaan
Sarah : bawa Teh Cindy, Ian, dan Nicole, ya Mas'!
Bandung, 11 Oktober 2002
Pernikahan Sarah dan Syamsul tergolong unik. Perkenalan, lamaran, dan
akad nikah semuanya berlangsung kilat. Tukar menukar biodata berlangsung
via internet, telepon dan teleconference. Baru empat hari mereka berjumpa.
Allah menyatukan hati mereka kendati mereka tak sempat mengenal lama satu
sama lain.
Aku 'cemburu' melihat kemesraan Sarah dan Syamsul. Sedangkan aku? Pergi
dari Sydney seorang diri setelah 'terusir' dari rumah. Meninggalkan istri
dan dua anak yang masih balita tanpa pamit.
Sabtu, 12 Oktober 2002
Aku berkemas-kemas. Sore nanti flight Ansett Aussie 247 tujuan Sydney
telah menungguku di Bandara Soekarno Hatta. Aku tengah memasukkan oleh-oleh
Ibu ke dalam tas, ketika berita tentang meledaknya bom di Bali kudengar di
televisi. Innalillahi, Bali diserang? Dan kebanyakan korbannya adalah warga
Australia. Negeri keduaku...tanah tumpah darah istriku.
Belum habis rasa terkejutku, setengah jam kemudian aku mendengar semua
penerbangan ke Australia ditunda sampai waktu yang tak ditentukan.
Senin, 14 Oktober 2001
Headlines Sydney News yang aku baca via internet sungguh mengejutkanku.
Gelombang anti muslim dan anti Indonesia yang merebak di seluruh Australia
pasca ledakan bom di Bali memakan korban warga muslim mancanegara yang
tinggal disana. Islamic Center dan Masjid di Brisbane-Queensland diserang.
Juga di Perth, Western Australia. Kata-kata kotor dituliskan di tembok
masjid, bahkan kotoran manusia dilemparkan ke masjid.
Beberapa muslim Indonesia di Sydney, Melbourne, dan Perth diinterograsi
oleh dinas intelijen Australia. Beberapa diinterogasi dan digeledah
rumahnya dengan sangat tidak manusiawi.
Aku murka, sekaligus sedih. Aku teringat shohibku di Masjid
Buranda-Holland Park. Terbayang wajah Imam Masjid Brother Abdul Quddus.
Juga Brother Dwi dan Seno di University of Queensland.
Rabu, 16 Oktober 2002
Subuh aku tiba kembali di Australia. Petugas imigrasi menginterogasiku
habis-habisan. Dia bertahan bahwa aku tak bisa masuk ke Australia karena
status visa-ku tidak jelas. Aku ngotot. Aku adalah permanent resident dan
bisa menjadi citizen karena menikah dengan wanita Australia. Juga, bahwa
aku adalah lawyer dan kandidat doktor di bidang hukum yang bisa
menggugatnya ke pengadilan. Ternyata yang terakhir itu mujarab.
Sabtu, 19 Oktober 2002
Hari ini aku giliran jaga malam di masjid Wabash Street. Masjid ini
berulangkali menerima ancaman. Jum'at kemarin satu grup pemuda rasis
bolak-balik di depan masjid sambil menunjuk-nunjuk masjid.
Jarum jam menunjukkan pukul dua dinihari. Aku membangunkan Brother Bahri
untuk bergantian ronda. Lalu bersiap shalat malam. Dari samping tempat
wudhu kudengar suara-suara slank Australia dan bunyi cat disemprotkan. Aku
menyeret Brother Bahri keluar masjid. Sederet kata-kata kotor di tembok
mesjid yang dibuat dengan cat pylox yang masih basah. Kata-kata kasar
keluar dari empat mulut berbau minuman keras. Mereka juga mengeluarkan
double stick dan pisau.
Kami bersiap menghadapi mereka. Tidak lama kemudian kami telah terlibat
perkelahian. Syukurlah, lawan kami tak begitu lihai. Dalam dua menit si
tinggi besar roboh. Tragisnya, pisau yang dipegangnya menikam dirinya
sendiri.
Aku terhenyak. Kenapa sampai sejauh ini? Raungan sirene polisi semakin
dekat. Kami digelandang ke kantor polisi terdekat.
Selasa, 22 Oktober 2002
Tiga hari kami menginap di kantor polisi. Tuduhannya : penganiayaan dan
percobaan pembunuhan ! Selama itu kami tetap bungkam. Aku hanya mau bicara
kalau aku didamping oleh pengacara. Polisi memberi waktu hingga Kamis jam
dua belas siang. Jika kami tidak mendapat pengacara, polisi akan
menyediakan pengacara negara. Akankah mereka berpihak pada kami? Aku tidak
yakin.
Teman-teman kami telah menghubungi hampir semua pengacara, tapi nihil.
Sebenarnya ini perkara biasa. Tapi setting sosial politik-nya tidak biasa.
Beribu orang mencaci kami. Gelombang aksi massa menyerbu kantor polisi.
Kamis, 24 Oktober 2002
Hampir jam 12.00. Aku masih belum punya pengacara. Semenit sebelum pukul
dua belas. Langkah-langkah panjang polisi penjara memasuki lorong. "Yeah,
lady ini mengajukan diri untuk menjadi pengacara anda," 'Namanya Lady Cindy
Stuart Masterson!" Aku tertegun.
Kamis, 5 Desember 2002
Hari ini sidang terakhir. Setelah sebulan lebih menghadiri sidang, kini
aku dan Brother Bahri menanti putusan hakim.
Aku dituntut tujuh tahun penjara atas tuduhan penganiayaan dan percobaan
pembunuhan. Brother Bahri dituntut empat tahun penjara atas tuduhan
penyertaan dalam penganiayaan dan percobaan pembunuhan.
Alhamdulillah, sejak pemeriksaan polisi, pemeriksaan district attorney
(kejaksaan) hingga pengadilan di district court aku selalu didampingi
Cindy. Pengacara muda lulusan terbaik School of Law UNSW dan sebentar lagi
menggaet Ph.D di bidang hukum. Dan, yang terpenting, ia istriku!
Cindy memang luar biasa. Kemampuan beracara-nya sangat piawai. "Yang
mulia, terdakwa harus dibebaskan dari semua tuduhan karena telah terbukti
ia tak sedikitpun memiliki niat untuk menganiaya ataupun membunuh. Ia hanya
self defense, membela diri karena empat orang berandal menyerang
masjid-nya."
"Yang mulia, terdakwa harus dibebaskan dari semua tuduhan, pisau itu
tidak digenggamnya, bukan miliknya dan tidak diarahkan untuk menusuk
korban. Lihat, tak ada satupun sidik jarinya di pisau tersebut. Pisau itu
menancap ke tubuh korban oleh peran korban sendiri.
"Yang mulia, ini tak adil. Terdakwa hanya membela diri dan rumah
ibadahnya. Sementara keempat penyerangnya merusak rumah ibadahnya dan
menyerangnya denga pisau dan double stick. Kedua terdakwa hanya melawan
dengan tangan kosong. Ini tidak seimbang. Ini bela paksa. Sekarang mereka
berdua jadi pesakitan, sementara sang penyerang masih bebas berkeliaran.
"Yang mulia, korban sekarang sudah sembuh dari lukanya. Ia berfikir
semua muslim militan, dan kejam.
"Yang Mulia, itu adalah prasangka. Kalaupun memang benar, bolehkah kita
menggeneralisir? menghukum seluruh muslim di seluruh dunia atas kejahatan
sekelompok radikal muslim? Ini absurd, irrasional, Yang Mulia. Saya
keberatan sekali!
"Yang Mulia, masjid bagi umat Islam adalah tempat yang sakral. Menyerang
tempat ibadah adalah kejahatan HAM Yang Mulia. Crime against humanity and
Gross Violation of Human Right. .........
Setengah jam kemudian hakim District Court Sydney membebaskan kami dari
tuduhan.
Aku dan Brother Bahri menangis terharu. Cindy memelukku. Pers memotret
kami. Gelombang massa rasis dan ultranasionalis berteriak memprotes putusan
hakim. Aku sujud syukur.
Jum'at, 6 Desember 2002
Sydney di akhir musim semi. Sydney Bridge berdiri dengan gagahnya. Di
kejauhan, nampak Darling Harbour bermandi cahaya senja.
"Cindy, Honey, kenapa kamu mau membela aku di pengadilan ? " tanyaku
dalam Bahasa Inggris yang paling santun.
"Kamu lupa, my dear Tommy. Aku masih istrimu. Aku masih sayang kamu, "
Cindy menyahut mesra.
Hatiku berdebar. "Hanya itu?" tanyaku gelisah.
"Tidak. Aku salut. Kamu begitu mencintai Islam, begitu mencintai masjid.
Kendati kerap diintimidasi dan dihina. Dalam lima tahun perkawinan kita,
kamu tak sekalipun meninggalkan shalat. Aku-lah yang jarang shalat. '
"Honestly, kami di sini sudah lama tak peduli dengan agama. Buat kami
agama adalah ilusi. Agama tak lebih dari urusan pribadi. Di negara ini ada
dua pertanyaan yang tabu, kamu juga tahu, agama dan status pernikahan.
Karena itu, jika ada orang yang patuh dengan ajaran agamanya kami sangat
penasaran. Apa yang membuat dia komit dengan Tuhan-nya?" Kata-kata itu
diucapkannya perlahan.
"Honey, engkau telah membuat mataku terbuka. Mungkin, memang sudah
saatnya aku mengikuti langkahmu."
Aku terharu. Matahari senja 1 Syawal 1423 H bersinar semakin temaram.
Chicago, 13 November 2002

No comments:

Post a Comment